Mengubah kotoran sapi menjadi biogas
Kita patut bersyukur Negara Indonesia sangat kaya dengan sumber energi. Mulai dari gas alam, minyak bumi hingga batu bara. Bayangkan saja cadangan gas alam kita yang terdapat di kepulauan Natuna merupakan yang terbesar di Dunia. Kepulauan Natuna diperkirakan menyimpan 200 triliun lebih gas alam. Jumlah yang sangat banyak untuk bisa dimanfaatkan sampai 30 tahun ke depan.
Namun walau begitu, sumber energi seperti gas dan minyak bumi nantinya pasti akan habis juga. Apalagi penggunaannya semakin tahun semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan di sektor industri.
Sudah waktunya kita mencari enegri alternatif baru dan terbarukan. Tujuanya adalah untuk mengurangi eksplorasi berlebih sumber energi yang ada. Sehingga nantinya anak – cucu kita tidak mengalami krisis karena kekurangan atau bahkan ketiadaan sumber energi.

Mengubah kotoran sapi menjadi biogas
Salah satu energi alternatif terbarukan adalah biogas. Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi anaerobik (tanpa udara) bahan-bahan organik. Seperti kotoran manusia, kotoran hewan, dan limbah organik rumah tangga.
Seperti yang dilakukan Pak Sarji (77 th) warga Tanah Enamratus, Medan. Perantau asal Ponorogo yang sudah menetap di Medan sejak tahun 1961 itu, berhasil ‘menyulap’ kotoran sapi menjadi biogas.
Di halaman belakang tidak jauh dari kandang sapi tertanam sebuah tanki fiber berdiameter kurang lebih 2,5 meter. Tanki tersebut merupakan tempat dimana biogas dihasilkan. Tampak di bagian atas tanki menjulur pipa PVC ukuran 1/2 inci. Jika dirunut pipa tersebut akan berujung di dapur.
Di sebelah kiri dan kanan tanki terdapat 2 bak terbuka yang terbuat dari semen. Bak sebelah kanan adalah tempat pengadukan kotoran sapi dengan air. Pada dasar bak terdapat inlet berbentuk lingkaran yang dapat dibuka dan ditutup.
Setelah kotoran sapi sudah berbentuk cair atau encer, maka tutup inlet akan dibuka. Kotoran sapi akan langsung mengalir menuju ke tanki digester. Tanki pengolahan biogas sendiri terbagi menjadi 2 bagian yang dibatasi juga oleh material fiber yang terlebih dahulu diberi penguat dari kayu.
Ruangan bagian bawah tanki merupakan ruang anaerobik dimana fermentasi kotoran sapi yang sudah dicampur air terjadi. Proses fermentasi dibantu oleh bakteri-bakteri anaerobik. Yaitu bakteri yang bisa hidup tanpa adanya oksigen. Sedangkan bagian atas adalah ruang gas. Hasil fermentasi kotoran sapi dan air tadi akan menghasilkan gas. Gas itu akan naik lalu ditampung di ruangan tersebut.
Sebagai informasi, tanki yang ditanam sangat cocok untuk daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Tujuannya adalah agar tanki tetap dingin waktu siang dan hangat pada malam hari.
Pada proses pembuatan biogas, setelah tanki diisi dengan kotoran sapi cair, ternyata tidak serta-merta langsung dapat dinikmati untuk memasak. Pengalaman Pak Sarji, ia harus menunggu 25-30 hari dulu hingga gasnya ‘jadi’. Gas yang sudah bisa dinyalakan ini biasa disebut sebagai gas metan.
Sedangkan pipa yang ada di dapur, dibuat instalasi khusus yang terdiri dari slang pembuangan, kran, dan slang menuju ke kompor. Kompor juga harus dimodifikasi dengan mengunakan spuyer yang lebih besar dari spuyer kompor gas rumahan biasa.
Selama masa ‘penantian’ yang lamanya hampir satu bulan itu, slang pembuangan pada instalasi di rumah harus dibuka. Dari situ akan keluar gas yang belum jadi. Maka kita harus siap-siap dengan aroma yang tidak sedap. Walau sebenarnya tidak terlalu mengganggu.
Setelah 25 sampai 30 hari dan sudah tidak mengeluarkan bau, maka kemungkinan besar biogas sudah jadi. Dari segi volume kotoran sapi encer itu sudah cukup banyak sehingga mempunyai tekanan untuk mengalir sampai ke rumah. Kalau biogas sudah jadi maka slang pembuangan udara bisa ditutup. Caranya cukup dilipat atau diikat saja. Kemudian kran bisa dibuka agar biogas bisa mengalir ke kompor.
Nyala api yang dihasilkan oleh biogas memang berbeda dengan gas elpiji. Api biogas tidak biru total layaknya gas elpiji, melainkan berwarna biru dengan sedikit merah. Tidak berasap sehingga sama bagus ketika digunakan untuk memasak.
Agar tanki selalu bisa menghasilkan biogas maka harus dilakukan pengisian secara rutin setiap hari. Menurut Pak Sarji, kotoran dari 5 – 8 ekor sapi sudah sangat ideal untuk menghasilkan gas yang cukup untuk keperluan sehari-hari selama 1 bulan.
Instalasi tanki milik Pak Sarji memiliki sedikit kelemahan. Ia menuturkan karena keterbatasan tempat, instalasi tanki dan bak pengaduk berada agak jauh dari kandang. Ia terpaksa menggunakan gerobak kecil untuk membawa kotoran sapi ke bak pengaduk. Idealnya memang ada saluran pembuangan kotoran dari kandang. Jadi ketika kandang dibersihkan dengan air maka kotoran sapi bisa langsung dialirkan menuju ke bak pengaduk.
Kakek dengan 17 orang cucu itu masih melakukan pengadukan kotoran sapi dan air secara manual. Ia hanya menggunakan cangkul atau garu saja. “Ya hitung-hitung olahraga.”Padahal keseharian Pak Sarji tidak hanya bertani dan berternak saja. Setiap hari dia juga sibuk di bengkel kerja yang tidak jauh dari kandang sapinya.
Sebagai gambaran, pada instalasi biogas lain, bak pengaduk dibuat khusus dengan tambahan semacam mixer yang digerakan dari atas untuk memudahkan pengadukan. Ini digunakan pada instalasi biogas yang besar dengan jumlah sapi puluhan hingga ratusan ekor. “Sebenarnya asal rajin, lumayan sudah dapat gas untuk masak.” pesan Pak Sarji.
Pemanfaatan biogas skala kecil untuk rumah tangga sepertinya tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap ketahanan energi nasional. Namun bagaimana pun, minimal masyarakat tidak perlu repot antri saat terjadi kelangkaan gas elpiji.
Selain itu pemanfaatan kotoran sapi jelas berdampak pada kebersihan dan kesehatan lingkungan. Bau tidak sedap tentu akan berkurang. Ampas dan air sisa proses biogas bisa dijadikan pupuk organik.
Pak Sarji berbagi kiat bahwa ampasnya juga bisa digunakan sebagai bahan campuran dasar bak ternak belut. Tetapi bibit belut tidak boleh dimasukan dulu. Harus menunggu 5 – 10 hari agar suhunya turun. Belut yang diternak pada bak yang memakai dasar ampas biogas lebih cepat pertumbuhannya.
Petani sekaligus peternak seperti Pak Sarji juga menggunakan pupuk organik tersebut untuk menyuburkan tanaman pertanian seperti bawang dan padi miliknya. Tanpa harus menggandalkan pupuk kimia. Secara ekonomis ini jelas menguntungkan dan lebih ramah bagi ekosistem.
Ada proses terbarukan dalam pembuatan biogas. Rumput gajah yang disiram pupuk cair organik akan tumbuh dengan subur. Rumput tersebut kemudian menjadi pakan ternak. Sapi-sapi mengeluarkan kotoran yang dimanfaatkan menjadi gas dan juga pupuk organik. Begitu seterusnya sehingga tidak ada yang terbuang sia-sia.
Di era serba praktis sekarang ini memang masyarakat lebih memilih gas elpiji. Perlu sosialisasi terus menerus untuk merubah mindsetmasyarakat terhadap ketergantungan pada bahan bakar minyak dan gas bumi. Di sisi lain. peternak yang hanya memiliki satu-dua ekor sapi masih enggan untuk membuat biogas.
Berharap pemerintah dan Pertamina bisa membantu dalam pengembangan biogas di kalangan peternak sapi. Caranya dengan menyatukan sapi-sapi milik peternak mandiri dalam sebuah kandang besar. Kemudian diharapkan pemerintah membantu pembuatan instalasi biogas. Produksi biogas itu kemudian dialirkan ke rumah-rumah.
Untuk membuat biogas tidak hanya kotoran sapi saja yang bisa dimanfaatkan limbah organik yang berasal dari pasar seperti sayuran bisa juga dimanfaatkan. Kita tahu pasar dan rumah tangga di kota – kota besar bisa menghasilkan berton – ton sampah organik setiap harinya. Semua itu ada di sekitar kita bukan ? tanpa harus mengeluarkan biaya untuk survey, eksplorasi dan tranportasi kita bisa menikmati sumber energi yang murah sekaligus ramah lingkungan.
Biogas dalam jumlah yang besar bisa dijadikan sebagai pembangkit energi listrik, biogas bisa menjadi bahan bakar penggerak generator. Sebuah potensi yang luar biasa dalam usaha kita mengurai ketergantungan terhadap sumber energi yang tidak bisa diperbarui.
Secara luas, pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif Negara akan sangat diuntungkan. Impor gas dan beban subsidi akan berkurang. Dana bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana pendidikan atau kesehatan.